
Jakarta, Allonews.id – Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tengah melakukan langkah serius dalam menertibkan dan mengambil alih tanah-tanah yang terbukti tidak dimanfaatkan secara optimal. Saat ini, setidaknya 100 ribu hektare tanah di berbagai wilayah Indonesia sedang dalam proses identifikasi sebagai tanah terlantar.
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid menegaskan bahwa penetapan tanah sebagai tanah terlantar tidak dilakukan secara sembarangan. Prosesnya panjang, melibatkan sejumlah tahapan administratif dan observasi di lapangan yang memerlukan waktu hingga 587 hari.
“Tanah terlantar kan sudah hampir 100 ribuan hektare yang sudah di ini kan ya. Dan ini bergulir terus, dikasih surat terus. Menetapkan terlantar itu kan butuh waktu 587 hari. Jadi tidak asal tetapkan-tetapkan, tidak bisa,” ujar Nusron dalam pernyataannya usai menghadiri Talkshow Profesional Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) 2025 di Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Tahapan Panjang: Dari Peringatan Hingga Pengambilalihan
Menurut Nusron, proses identifikasi tanah terlantar dimulai dari pengamatan terhadap lahan yang dicurigai tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya. Setelah itu, pemerintah mengirimkan surat pemberitahuan resmi kepada pemilik atau pengelola lahan. Dalam surat tersebut, mereka diberi waktu 180 hari untuk segera memperbaiki atau memulai pemanfaatan lahan sesuai izin atau rencana tata ruang.
Jika dalam waktu 180 hari tidak ada respons atau tindakan nyata, pemerintah akan melayangkan Surat Peringatan (SP) Pertama, yang berlaku selama 90 hari. Setelah itu, akan diterbitkan SP Kedua dan SP Ketiga, jika pemilik lahan masih abai terhadap kewajibannya.
“Kalau sudah sampai SP tiga, berarti sudah jelas yang bersangkutan tidak punya niat untuk mendayagunakan dan memanfaatkan tanahnya. Sudah dikasih surat cinta berkali-kali, tetap tidak digubris,” kata Nusron.
Masuk Bank Tanah dan Reforma Agraria
Setelah seluruh tahapan administratif selesai dan tanah dinyatakan resmi sebagai tanah terlantar, maka lahan tersebut akan masuk dalam Pengelolaan Bank Tanah. Selanjutnya, status lahan dapat diubah menjadi Tanah Cadangan untuk Negara (TCUN) dan digunakan untuk program-program strategis pemerintah.
Salah satu fokus pemanfaatan tanah terlantar adalah reforma agraria, yakni pemerataan akses kepemilikan tanah bagi rakyat dan penyediaan lahan untuk pembangunan fasilitas umum, perumahan rakyat, hingga proyek ketahanan pangan.
“Kalau tanah terlantar sudah masuk ke Bank Tanah, selanjutnya akan dialihkan ke Tanah Cadangan untuk Negara. Ini bisa digunakan untuk reforma agraria atau kebutuhan strategis lainnya,” tambah Nusron.
Pemerintah Dorong Optimalisasi Tanah, Bukan Sekadar Penertiban
Langkah ini, menurut pemerintah, bukan semata-mata bentuk represif atau penertiban, melainkan bagian dari upaya mengembalikan fungsi sosial tanah. Pemerintah ingin memastikan bahwa setiap jengkal tanah di Indonesia digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Kebijakan ini juga diharapkan mampu menekan praktik spekulasi lahan yang kerap menghambat pembangunan, khususnya di kawasan perkotaan dan daerah yang sedang berkembang.
Dengan luasnya lahan yang sedang dalam proses identifikasi, pemerintah berharap partisipasi aktif dari pemilik atau pengelola lahan untuk menghindari status “terlantar”. Proses ini juga dibuka untuk tanggapan dan pembelaan dari pihak terkait jika mereka merasa lahan tidak layak disebut telantar.



