
Jakarta, Allonews.id – Polemik tunjangan rumah anggota DPR RI yang mencapai Rp50 juta per bulan terus bergulir dan kini memasuki babak baru. Sorotan publik yang tajam bahkan memicu gelombang demonstrasi mahasiswa dan buruh di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, pada 25 Agustus 2025.
Di tengah tekanan tersebut, sejumlah fraksi di DPR mulai menyatakan sikap terbuka untuk dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap fasilitas dan tunjangan yang diterima anggota dewan.
Sahroni: Semua Tunjangan Akan Saya Kembalikan ke Rakyat
Sekretaris Fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni menegaskan dirinya mendukung evaluasi secara total terhadap tunjangan DPR. Menurutnya, langkah ini penting untuk meredam kekecewaan publik sekaligus memastikan amanah rakyat tidak disalahgunakan.
“Saya dukung evaluasi tunjangan yang diterima anggota DPR RI, setuju evaluasi secara total,” kata Sahroni saat dihubungi, Sabtu (30/8/2025), dikutip dari Detik.com.
Sahroni menambahkan, selama ini dirinya sudah memiliki komitmen untuk mengembalikan seluruh gaji dan tunjangan yang diterima kepada masyarakat. “Untuk saya semua gaji dan tunjangan dari dulu selalu saya berikan kembali ke masyarakat, itu wajib,” tegasnya.
“Meski nanti dievaluasi, semua gaji dan tunjangan yang saya terima tetap akan saya kembalikan ke masyarakat,” lanjut Sahroni.
Golkar: Momentum Terbaik untuk Refleksi
Sikap senada juga datang dari Fraksi Partai Golkar. Ketua Fraksi Golkar DPR RI, Muhammad Sarmuji, menilai saat ini adalah momen yang tepat bagi para legislator untuk melakukan introspeksi.
“Kita sudah menyatakan lebih dulu kemarin bahwa kami siap dievaluasi dan direvisi fasilitas kami jika dipandang berlebihan,” ujar Sarmuji.
Menurutnya, gelombang protes masyarakat harus dijadikan bahan refleksi. Ia mengingatkan agar anggota DPR maupun DPRD mulai menata sikap agar tidak semakin menjauh dari rakyat.
“Saat sekarang ini adalah momentum terbaik untuk merefleksikan diri,” katanya.
Sarmuji menegaskan, ukuran kepatutan harus menjadi pedoman bagi wakil rakyat. “Kami memberi arahan terbuka kepada semua anggota DPR dan DPRD agar memegang ukuran kepatutan diri dalam bersikap, berkata, berpenampilan, dan berperilaku,” ujarnya.
PAN: Evaluasi Bagian dari Perbaikan Berkelanjutan
Fraksi PAN juga mengambil posisi serupa. Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan, menyebut evaluasi tunjangan merupakan bagian dari proses perbaikan yang harus dilakukan secara konsisten dan transparan.
“Fraksi PAN memandang evaluasi sebagai bagian dari upaya perbaikan berkelanjutan. Kami siap mengikuti setiap prosesnya, selama dilakukan secara transparan dan sesuai dengan prinsip kepatutan,” tutur Putri.
Lebih jauh, ia mengingatkan para anggota dewan untuk senantiasa menjaga kesederhanaan. Menurutnya, gaya hidup sederhana mencerminkan kesadaran bahwa fasilitas yang diterima merupakan titipan rakyat.
“Yang terpenting, DPR terus menunjukkan komitmen melayani rakyat dengan penuh tanggung jawab,” ujarnya. “Evaluasi ini kami pandang sebagai langkah untuk memastikan kinerja legislatif semakin efektif dan bermanfaat bagi masyarakat.”
Tekanan Publik dan Aksi Massa
Isu tunjangan rumah anggota DPR RI mencuat setelah publik mengetahui nilai fasilitas tersebut mencapai Rp50 juta per bulan. Besarnya nominal itu dianggap tidak relevan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang masih tertekan pascapandemi dan situasi global yang tidak menentu.
Puncaknya terjadi pada Senin, 25 Agustus 2025, ketika ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat sipil menggelar aksi di depan gedung DPR. Mereka menuntut transparansi anggaran serta menolak kebijakan tunjangan yang dinilai sebagai bentuk pemborosan.
Gelombang kritik tidak hanya datang dari jalanan, tetapi juga dari berbagai pakar ekonomi dan lembaga pemantau anggaran. DPR pun mau tidak mau harus menanggapi serius dengan wacana evaluasi.
Jalan Panjang Pembenahan
Meski sejumlah fraksi sudah menyatakan dukungan terhadap evaluasi tunjangan, publik masih menunggu tindak lanjut nyata dari pernyataan tersebut. Langkah konkret DPR dalam membenahi sistem tunjangan akan menjadi penentu apakah kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan atau semakin terkikis.
Pernyataan Sahroni, Sarmuji, dan Putri Zulkifli Hasan memberi sinyal awal bahwa wacana evaluasi bukan sekadar retorika politik. Namun, publik menuntut hasil nyata berupa kebijakan yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan rakyat



