
Jakarta, Allonews.id – Aksi demonstrasi kolosal yang melanda berbagai kota di Indonesia beberapa hari terakhir dinilai bukan sekadar luapan kemarahan rakyat terhadap DPR, melainkan sebuah determinasi historis bahwa kekuasaan sejatinya berada di tangan rakyat.
Hal ini disampaikan analis politik Boni Hargens dalam keterangan tertulis, Minggu (31/8/2025). Ia menegaskan, sudah sewajarnya para wakil rakyat bersikap rendah hati dan hormat kepada masyarakat yang memilih mereka.
“Narasi dan tindakan publik dari para wakil harus diselaraskan dengan kondisi hidup rakyat yang telah memilih mereka untuk duduk dalam jabatan publik,” kata Boni, dikutip dari Tribunnews.com.
Demo Pati Jadi Pemicu Gelombang Aksi Nasional
Menurut Boni, aksi massa yang kini menyebar ke berbagai daerah tidak berdiri sendiri. Gerakan tersebut memiliki akar pada gelombang protes terhadap kebijakan kenaikan pajak di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang kemudian menyulut semangat perlawanan serupa di daerah lain.
“Sejak peristiwa Pati, sudah terlihat ada potensi lahirnya gerakan kolosal yang boleh kita sebut ‘Jawa Spring’ (Musim Semi Jawa),” ujarnya.
Istilah ini, kata Boni, terinspirasi dari fenomena Arab Spring yang mengguncang Timur Tengah pada 2010. Menurutnya, Pati memiliki sejarah panjang sebagai basis perlawanan rakyat Jawa terhadap kolonial Belanda, sehingga tidak mengherankan bila protes yang terjadi di sana memiliki resonansi kuat.
“Mereka (warga Pati) pernah memulai pembangkangan terhadap rezim kolonial pada masa lalu,” ucapnya.
Perlunya Mitigasi dan “Intelligence-Led Policy”
Boni menekankan, situasi ini harus menjadi alarm bagi pemerintah. Ia menyarankan agar seluruh institusi negara melakukan analisis prediktif dan langkah mitigasi dini secara komprehensif.
“Dengan pola gerakan yang viral, masif, dan tak terbendung sejak Pati, semua institusi negara perlu evaluasi mendalam. Saatnya menerapkan intelligence-led policy, kebijakan berbasis informasi intelijen yang akurat dan objektif,” tegasnya.
Menurut dia, informasi intelijen yang murni dan bebas dari kepentingan politis akan membantu pemerintah membuat kebijakan tepat sasaran untuk meredam potensi eskalasi yang lebih luas.
Apresiasi Sikap Presiden Prabowo
Dalam pandangan Boni, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyerukan pejabat publik agar rendah hati dan melakukan koreksi diri merupakan langkah moral penting.
“Pernyataan Presiden adalah bentuk renungan moral yang mendalam. Seharusnya ini menjadi refleksi bagi semua pejabat publik, baik di daerah maupun pusat,” ujarnya.
Boni bahkan menyinggung ekspresi marah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ketika melihat anggota DPR menari gembira usai kenaikan tunjangan disahkan beberapa waktu lalu. Menurutnya, peristiwa itu menjadi simbol ketidakpekaan wakil rakyat terhadap penderitaan masyarakat.
Gerakan Rakyat Bukan Sentimen Sesaat
Lebih jauh, Boni menegaskan bahwa gerakan rakyat saat ini bukan sekadar luapan emosional atau kemarahan sesaat. Melainkan, akumulasi panjang dari keresahan yang lama terpendam.
“Kita tidak ingin pemerintahan terganggu karena gejolak ini. Maka perlu evaluasi menyeluruh, baik di legislatif, yudikatif, maupun eksekutif,” ujarnya.
Boni juga mengingatkan adanya ancaman infiltrasi dari “penumpang gelap” atau free riders yang bisa memanfaatkan situasi untuk memprovokasi benturan antara rakyat dan aparat. “Upaya bentur-membenturkan itu berpotensi memperumit keadaan dan merugikan bangsa,” katanya.
Profil Singkat Boni Hargens
Boni Hargens dikenal luas sebagai akademisi dan analis politik. Ia pernah menjadi anggota Dewan Pengawas LKBN Antara, dosen di Universitas Indonesia dan Universitas Petra, serta mendirikan Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) yang kini dipimpinnya.
Pria kelahiran Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), ini meraih gelar doktor bidang Kebijakan Publik dan Administrasi dari Walden University, Amerika Serikat. Dalam kiprahnya, Boni dikenal vokal mendorong demokratisasi dan transparansi kebijakan publik di Indonesia.



