
Jakarta, Allonews.id – Sebanyak 2.000 akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia resmi diberangkatkan dalam program Ekspedisi Patriot untuk melakukan penelitian di kawasan transmigrasi. Pelepasan dilakukan secara bertahap melalui Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Selasa (26/8/2025).
Para relawan ini berasal dari beragam latar belakang pendidikan, mulai dari mahasiswa S1, S2, program doktoral, hingga guru besar. Mereka akan disebar ke 154 kawasan transmigrasi di seluruh Indonesia, mencakup Sumatra, Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Sulawesi, hingga Papua.
Wakil Menteri Transmigrasi, Viva Yoga Mauladi, menegaskan bahwa program ini bukan sekadar kegiatan akademik, melainkan langkah strategis untuk menjawab persoalan di lapangan.
“Ini adalah Ekspedisi Patriot. Sebanyak 2.000 relawan akademisi akan ditempatkan di kawasan transmigrasi untuk melakukan riset mendalam, mulai dari potensi ekonomi, pangan, infrastruktur, hingga kebutuhan dasar masyarakat transmigrasi,” ujar Viva Yoga, dikutip dari Liputan6.com.
Menurut Viva Yoga, rincian peserta terdiri atas 42 guru besar, 358 lulusan S3, 846 lulusan S1 dan S2, serta 754 mahasiswa S1 dari kampus-kampus ternama seperti ITB, IPB, UI, UGM, Undip, Unpad, ITS, serta puluhan perguruan tinggi lainnya.
Salah seorang relawan, Yahya Latif Hidayat, alumni Jurusan Teknik Geodesi Universitas Diponegoro, mengaku siap meneliti potensi pangan di daerah penempatannya.
“Saya ditempatkan di Banyuasin, Sumatra Utara. Di sana ada potensi perkebunan, tetapi fokus kami adalah pada tanaman padi dan sawi. Penelitian ini akan berlanjut untuk melihat potensi pangan secara lebih detail,” kata Yahya.
Viva Yoga menambahkan, hasil penelitian ini nantinya akan dituangkan dalam laporan ilmiah yang bisa dijadikan rekomendasi kebijakan, tidak hanya di Kementerian Transmigrasi, tetapi juga lintas kementerian seperti ATR/BPN, PUPR, Perhubungan, hingga Perumahan dan Pemukiman.
Mahasiswa USU Bergerak Ricuh di Medan: Dua Orang Ditangkap, Polisi Diduga Represif
Masih pada hari yang sama, ratusan mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa USU Bergerak menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Sumatera Utara, Jalan Imam Bonjol, Medan. Mereka membawa “Selusin Tuntutan Rakyat” yang menyoroti isu korupsi, oligarki politik, hingga kebijakan publik yang dinilai menjauh dari kepentingan rakyat.
Situasi awalnya berlangsung damai, namun berubah tegang ketika mahasiswa mencoba masuk ke dalam gedung. Aksi saling dorong dengan aparat kepolisian pun tak terelakkan. Bahkan, mahasiswa sempat membakar ban bekas di depan gerbang DPRD sebagai simbol perlawanan.
Seorang orator dari atas mobil komando berteriak lantang:
“Kami datang ke sini bukan untuk hura-hura, tapi untuk menyuarakan kegelisahan rakyat. DPR dan pemerintah telah jauh dari amanah rakyat—hidup mewah, sementara rakyat menderita!”
Ketegangan memuncak ketika aparat menangkap dua mahasiswa yang dituding sebagai pelaku pelemparan batu. Penangkapan dilakukan dengan cara keras; sejumlah mahasiswa diduga mengalami pemukulan. Seorang mahasiswa bahkan sempat kejang-kejang usai mendapat tendangan keras di bagian kepala, sebelum akhirnya diamankan ke dalam Gedung DPRD Sumut.
Insiden itu memicu kemarahan peserta aksi. Mereka mengecam tindakan aparat yang dianggap berlebihan dan tidak manusiawi.
“Kami datang menyampaikan aspirasi, bukan untuk dipukuli!” teriak seorang mahasiswa dari atas mobil komando.
Hingga malam hari, massa tetap bertahan di depan gedung DPRD, meski polisi memperketat penjagaan. Situasi sempat mencekam karena mahasiswa terus menuntut pembebasan rekan mereka yang ditangkap.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian terkait alasan penangkapan maupun dugaan tindakan represif aparat. Dari pihak DPRD Sumut, tidak ada satu pun anggota dewan yang turun menemui mahasiswa.



