
Jakarta, Allonews.id — Polemik mengenai istilah operasi tangkap tangan (OTT) kembali mengemuka dalam rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menegaskan bahwa terminologi OTT sejatinya bukan istilah resmi yang digunakan oleh lembaga antirasuah. Menurutnya, sebutan OTT lebih berkembang sebagai bagian dari kebiasaan atau budaya dalam masyarakat.
“Terminologi OTT itu tidak pernah kami sampaikan pimpinan. Ini adalah terminologi yang mungkin menjadi sebuah kebiasaan, budaya, atau masyarakat menganggap istilah OTT itu operasi tertangkap tangan,” ujar Setyo dalam rapat, dikutip dari Liputan6.com.
Penjelasan Hukum
Setyo menambahkan, KPK memandang OTT tidak berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari rangkaian tindakan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ia merujuk Pasal 102 ayat (1) dan (2) KUHAP yang mengatur kewajiban penyelidik untuk segera melakukan tindakan ketika mendapati peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
“Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b,” jelas Setyo.
DPR Pertanyakan Mekanisme OTT
Meski demikian, sejumlah anggota Komisi III DPR menilai definisi dan praktik OTT selama ini kerap menimbulkan kebingungan. Salah satunya disampaikan Wakil Ketua Komisi III, Ahmad Sahroni.
Ia menyoroti peristiwa di Makassar baru-baru ini, ketika KPK mengumumkan melakukan OTT terhadap Bupati Kolaka Timur. Namun, pada saat yang sama, sang bupati diketahui masih menghadiri kegiatan di Makassar, sehingga publik mempertanyakan mekanisme yang sesungguhnya.
“Kita kalau berbicara penegakkan hukum, 1000% kita pasti dukung pak. Tapi masalahnya, kita jadi bingung sama mekanisme kerja KPK kemarin, terutama terkait terminologi OTT. Jadi OTT itu seperti apa? Tangkap tangan di lokasi beserta bukti kejahatan, atau bagaimana? Karena apa yang terjadi di Makassar kemarin tidak seperti itu,” kata Sahroni.
Dukung Penegakan Hukum
Meski melontarkan kritik, Sahroni menegaskan bahwa Komisi III, Partai NasDem, maupun seluruh fraksi di DPR, tetap mendukung langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.
“Saya harap ke depan, momen di Makassar tidak terulang, pak. Karena sebenarnya kalau komunikasinya baik, bahkan bisa kita anterin pak terduganya ke KPK. Kami tidak akan melindungi terduga, pak,” ujar Sahroni.
Ia menambahkan, jika ada oknum yang terbukti bersalah, KPK dipersilakan bertindak tegas tanpa pandang bulu. “Nah kalau begitu kan kita sama-sama bisa lebih menghormati hubungan kelembagaan. Karena dari semua partai, pasti ada saja anggotanya yang bermasalah, tak bisa dipungkiri,” katanya.
Penegasan KPK
Menutup penjelasannya, Setyo Budiyanto memastikan KPK akan tetap bekerja sesuai koridor hukum. Menurutnya, perbedaan persepsi terkait istilah OTT seharusnya tidak mengurangi substansi dari penegakan hukum yang dilakukan lembaganya.
“Yang terpenting, tindakan yang kami lakukan berlandaskan aturan hukum yang berlaku. Selebihnya, soal istilah, tentu kami terbuka untuk berdiskusi dengan DPR dan masyarakat,” ujar Setyo.
Rapat kerja antara KPK dan DPR tersebut menjadi catatan penting dalam hubungan kelembagaan dua institusi negara, terutama dalam membangun kesepahaman publik mengenai mekanisme pemberantasan korupsi di Indonesia.



